Sebetulnya aku sudah dua kali menginjakkan kaki di Pulau Seribu Puri ini, pertama sendirian tahun 1982 naik bus dari Surabaya ke Denpasar, tak masalah menyusuri jalan darat karena usia masih muda umur 36 tahun. Keduanya tahun 1987 datang lagi ke Pulau Dewata berlima bersama keluarga saat itu anak-anak masih kecil. Dan ketiga kalinya mudah-mudahan jangan yang terakhir, kemarin tanggal 19 sampai 23 Januari 2013 saat Jakarta hampir tenggelam oleh banjir.
Inilah wisata keluarga, meskipun tidak keluarga besar anak cucuku, kami berenam terlaksana mengunjungi Pulau Bali. Perjalanan kami dari mulai Cengkareng – Ngurah Rai – Kuta – Nusa Dua – Belanja oleh-oleh di Sukawati – Jimbaran – Pura Luhur Tanah Lot – Garuda Wisnu Kencana – Belanja oleh-oleh di “Krisna” – sampai kembali ke Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta.
Bali dari kacamata seorang kakek selalu menarik, apalagi selama 12 tahun terakhir aku kurung batok seperti katak dalam tempurung tinggal di Bandung. Memang iya meskipun Bandung punya daya tarik sendiri atas wisata belanja, kuliner, dan wisata bangunan peninggalan budaya khususnya peninggalan zaman kolonial Belanda, tapi Bandung tetap beda dengan Badung dan umumnya Pulau Bali itu.
Entah apa sebab atau asal muasalnya, beberapa kata dalam bahasa Sunda sama artinya dengan kata dalam bahasa Bali diantaranya: jelema berarti manusia, polo berarti otak, panganggo – pakaian, uyah – garam, baraya – keluarga, kuren – kawin, lami – lama, pisan – amat, linyok – ingkar janji atau bohong, kiwa – kiri, kirang – kurang, jalma – manusia, pireng – dengar, alit – kecil, panggih – jumpa, sareng – turut. dan beberapa lagi, didapat dari buku “Istilah Indonesia – Bali” oleh I Nengah Tinggen. Bisa jadi atau mungkin saja kata-kata tersebut sama berasal dari bahasa Jawa dimana sejarah leluhurnya suku bangsa Bali berasal dari P. Jawa.
Sebagaimana penutur bahasa Sunda di tanah Sunda Parahyangan demikian juga percakapan dalam bahasa Bali di tanah Para Dewata sangat kental dipergunakan ditengah penduduknya. Para sasterawan Bali giat menulis dalam bahasa Bali. Itulah sebabnya Hadiah Sastra Rancage (arti Rancage adalah cakap atau pandai) adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang didirikan oleh budayawan Ajip Rosidi, Erry Riyana Harjapamekas, Edi S, dan beberapa tokoh lainnya. Dimana mulai tahun 1998 hadiah Rancage juga diberikan kepada sastra Bali.
Misal Hadiah Rancage untuk dua tahun terakhir, tahun 2011 Sastra Sunda Karya: Us Tiarsa untuk kumpulan cerpen Halis Pasir. Sastra Jawa Karya: Herwanto untuk kumpulan cerpen Pulo Asu. Sastra Bali karya IDK Raka Kusuma untuk kumpulan sajak Sang Lelana. Tahun 2012 sastra Sunda karya Acep Zamzam Noor untuk kumpulan sajak Paguneman, Sastra Jawa karya Yusuf Susilo Hartono untuk kumpulan sajak Ombak Wengi. Sastra Bali karya Komang Adnyana untuk kumpulan cerpen Metek Bintang (dari Wikipedia)
Sejak mula turun di Bandara Ngurah Rai, sudah tercium bau harum dupa, semilir angin wangi bunga yang ditaroh di beberapa sudut dalam wadah berupa sesajen. Orang bali berbicara bahasa Bali yang dengan logatnya yang kental. Juga sudah mulai kelihatan para pendatang berpakaian sebagaimana layaknya para turis pakaian praktis manis dan sekaligus minimalis.
Karena Pulau Dewata ini juga sudah terbiasa menerima para turis baik asing maupun domestik mereka sudah berpengalaman menanganinya, cepat, ramah, dan memuaskan. Para pekerja sektor pariwisata di Bali ini sepertinya sudah terbiasa berbicara tiga bahasa yaitu bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris.
Demikian juga para pekerja itu tidak piduit atau mata duitan, membayar sesuai apa yang disepakati sebelumnya. Mungkin hanya pengalaman aku beberapa kali di tempat parkir pemberian uang ditolak. Demikian juga baik dalam belanja maupun misalnya salah satu contoh dalam penyewaan mobil merasa tidak ada unsur penipuan, nampaknya orang Bali mengutamakan kejujuran.
Penduduknya juga kelihatan begitu sholeh dalam ibadah ritual, ketika aku menunggu kaum ibu belanja di Sukawati, tak hentinya orang yang beribadat membawa sesajen di Pura kecil di depan Pasar Seni Sukawati tersebut. Kelihatan kesemuanya dilakukan oleh perempuan, mungkin laki-laki dalam ibadah lain.
Satu lagi, meskipun banyak yang berpakaian minim tapi tidak berbau mesum atau asusila, dan aku juga tidak menemukan preman atau semacam jawara, sekali lagi itu dari kacamata aku. Dan ada lagi Pulau Bali ini, karena aku terkonsentrasi di P. Bali bagian selatan terus sebelah barat, timur, maupun selatan nampak pantai yang indah bersih dan asri yang bisa melihat sunset dan sunrise yang dipenuhi para turis asing yang berjemur, terpaksa sebagai seorang Aki harus meungpeun carang alias pura-pura menutup mata.
Kebanyakan orang Bali adalah seniman, memang asal muasalnya dahulu menurut cerita adalah para raja dan tentu beserta para bangsawan dari P. Jawa yang eksodus, bedol desa, membawa para seniman, budayawan, cerdik pandai, sehingga keturunannya terlihat sampai sekarang. Pulau yang indah terus dikelola oleh tangan terampil yang mempunyai selera dan cita rasa seni yang tinggi. Tak heran di setiap sudut terlihat patung yang mengagumkan, dan di setiap tempat ada pertunjukan berbagai macam tarian
Memang iya agak mengalami kendala ketika aku sebagai muslim jika saatnya waktu sholat tiba, jarang sekali ditemukan mushala atau masjid, masuk akal di Bandung juga mungkin tidak akan ditemukan Pura. Tapi kan bagi yang bepergian jauh bisa diatasi dengan keringanan yaitu dengan sholat dijama. Satu lagi makanan agak susah, tapi kalau dicari kerap ketemu makanan Jawa, Madura, bahkan makanan Sunda yang halal.
Dan akhirnya aku menemukan masjid tak jauh dari rumah sewa. Lihat ornamen atap dan gapuranya. Betul-betul ciri sabumi cara sadesa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.