Bangunan Cagar Budaya Di Kota Bandung, Jalan Braga

No. : 60, Nama Bangunan: Bioskop Mayestic, Lokasi: Jl Braga, Fungsi: Cinema (Bioskop), Arsitek: C.P. Wolff Schoemaker,Tahun: 1925, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman

No. : 61, Nama Bangunan: Apotik Kimia Farma, Lokasi: Jl Braga 2,4,6, Fungsi: Toko, Arsitek: belum diketahui,Tahun: 1902, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 64, Nama Bangunan: Sarinah, Lokasi: Jl Braga 10, Fungsi: Toko Onderling Belang , Arsitek: belum diketahui,Tahun: 1937-1940, Kelas: B. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 67, Nama Bangunan: Centre Point, Lokasi: Jl Braga 117, Fungsi: Ruko, Arsitek: C.P. Wolff Schoemaker, Tahun: 1925, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 68, Nama Bangunan: LKBN Antara, Lokasi: Jl Braga 25, Fungsi: Kantor, Arsitek: A.F. Aalbers, Tahun: 1936, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 72, Nama Bangunan: Ex Toko Populair, Lokasi: Jl Braga 45, Fungsi: Toko, Arsitek: belum diketahui, Tahun: 1915, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 83, Nama Bangunan: Bank Indonesia, Lokasi: Jl Braga 108, Fungsi: Javasche Bank , Arsitek: Edward Cuypers, Tahun: 1917, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 86, Nama Bangunan: Landmark Building, Lokasi: Jl Braga 131, Fungsi: Toko Buku dan Percetakan Van Dorp, Arsitek: C.P Wolff Schoemaker, Tahun: 1922, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 87, Nama Bangunan: MAPOLTABES, Lokasi: Jl Braga 135, Fungsi: Kantor Insulinde, Arsitek: R.L.A. Scoemaker, Tahun: 25 Mei 1917, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

Sumber: Hasil Inventarisasai Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung Tahun 1997 (bandungheritage.org)

Bangunan Cagar Budaya Di Kota Bandung, Jalan Asia Afrika

No. : 25, Nama Bangunan: Kantor Pos Besar, Lokasi: Jl Asia Afrika 47, Fungsi: Posten Telegraf Kantor, Arsitek: J. Van Gent, Tahun: 1928-1931, Kelas : A. Bagian Samping Kantor Pos Bandung. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 26, Nama Bangunan: Bank Mandiri, Lokasi: Jl Asia Afrika 51, Fungsi: Kantor Bank, Arsitek: belum diketahui,Tahun: 1915, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 27, Nama Bangunan: P.T. Asuransi Jiwasraya, Lokasi: Jl Asia Afrika 53, Fungsi: Kantor Asuransi, Arsitek: belum diketahui,Tahun: 1917-1920, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 28, Nama Bangunan: Bank Mandiri, Lokasi: Jl Asia Afrika 61, Fungsi: Kantor Bank, Arsitek: Edward Cuypers,Tahun: 1912, Kelas: A. Foto Koleksi Aki Eman 2011

No. : 29, Nama Bangunan: Perusahaan Listrik Negara, Lokasi: Jl Asia Afrika 63, Fungsi: Gebeo, Arsitek: C.P Wolff Schoemaker, Tahun: 1933, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 30, Nama Bangunan: Gedung Merdeka, Lokasi: Jl Asia Afrika, Fungsi: Societeit Concordia, Arsitek: C.P Wolff Schoemaker, Tahun: 1902, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 31, Nama Bangunan: Kantor Pikiran Rakyat, Lokasi: Jl Asia Afrika 77, Fungsi: Kantor, Arsitek: C.P Wolff Schoemaker, Tahun: 1925, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 32, Nama Bangunan: Hotel Preanger, Lokasi: Jl Asia Afrika 81, Fungsi: Grand Hotel Preanger, Arsitek: C.P.Wolf Schoemaker,Tahun: 1929, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 33, Nama Bangunan: Gedung Punten, Lokasi: Jl Asia Afrika 90, Fungsi: Toko Lido ( Mebel Erisa), Arsitek: belum diketahui, Tahun: 1930, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 36, Nama Bangunan: Savoy Homann Heritage Hotel, Lokasi: Jl Asia Afrika 112, Fungsi: Hotel, Arsitek: belum diketahui,Tahun: 1939, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

No. : 39, Nama Bangunan: Vigano, Lokasi: Jl Asia Afrika 188, Fungsi: Pertokoan, Arsitek: Edward Cuypers, Tahun: 1910, Kelas: A. Foto koleksi Aki Eman 2011

Sumber: Hasil Inventarisasai Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) Tahun 1997  (bandungheritage.org)

Perda Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung

Written by DR. Harastoeti DH.   16 December 2009

Kriteria Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya
   Mengingat bahwa kegiatan pelestarian kawasan dan bangunan cagar budaya telah dilakukan jauh sebelum dibentuknya Peraturan Daerah ini, Bandung Heritage telah mencoba untuk melakukan studi mengenai kriteria yang dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mencari, memilih dan menentukan kawasan maupun bangunan yang layak untuk (atau bahkan harus) dilestarikan. Setelah melalui argumentasi panjang, maka lahirlah kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, dengan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yaitu:
(1) Nilai Sejarah
Hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa atau sejarah politik (perjuangan), sejarah ilmu pengetahuan, sejarah budaya termasuk di dalamnya sejarah kawasan maupun bangunan (yang lekat dengan hati masyarakatnya), tokoh penting baik pada tingkat lokal (Bandung atau Jawa barat), nasional (Indonesia) maupun internasional;
(2) Nilai Arsitektur
Berkaitan dengan wajah bangunan (komposisi elemen-elemen dalam tatanan lingkungan) dan gaya tertentu (wakil dari periode gaya tertentu) serta keteknikan. Termasuk di dalam nilai arsitektur adalah fasad, layout dan bentuk bangunan, warna serta ornamen yang dimiliki oleh bangunan. Juga berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau menunjang ilmu pengetahuan, misalnya, bangunan yang dibangun dengan teknologi tertentu atau teknologi baru (termasuk di dalamnya penggunaan konstruksi dan material khusus). Bangunan yang merupakan perkembangan tipologi tertentu.
(3) nilai ilmu pengetahuan
Mencakup bangunan-bangunan yang memiliki peran dalam pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya ITB, UPI, Museum Geologi.
(4) nilai sosial budaya (collective memory)
Berkaitan dengan hubungan antara masyarakat dengan locusnya.
(5) umur
Berkaitan dengan umur kawasan atau bangunan cagar budaya. Umur yang ditetapkan adalah sekurang-kurangnya  50 tahun. Semakin tua bangunan, semakin tinggi nilai ke-‘tuaannya’.

Buku-Buku Tentang Bandung

Sampai saat ini sudah banyak buku tentang Bandung telah ditulis, jika Anda ingin mengetahui isi perutnya Kota Bandung, ada baiknya membaca dulu tentang Bandung lewat buku-buku tersebut. Buku-buku itu ada di toko buku, perpustakaan, atau di tempat penjualan buku-buku bekas yang berada di Kota Bandung.

Gambar cover 19 buah buku tersebut saya pajang di bawah ini dari berbagai sumber, mengapa diposting di sini, alasannya biar berkumpul menjadi satu, dan dengan harapan agar mudah mencarinya karena sudah melihat foto covernya.

Seharusnya iya memang buku-buku tersebut dibuat keterangannya lebih jelas,  apalagi jika oleh saya dibaca terus dibuat sinopsis atau resensinya, akan tetapi pertama itu baru cita-cita, keduanya dari sebagian buku-buku tersebut,  saya belum pernah menyentuhnya apalagi memilikinya.

1) Semerbak Bunga di Bandung Raya Oleh: Haryoto Kunto

2) Wajah Bandoeng Tempo Doeloe

3) Braga Jantung Parijs Van Java

4) Bandung Dalam Hitam Putih

5) Balai Agung di Kota Bandung

6) Album Bandung Tempo Doeloe

7) 200 Ikon Bandung, Ieu Bandung Lur!, Pikiran Rakyat

8) Where To Go Bandung

9) Jendela Bandung Perjalanan Bersama Kompas

10) Peta 100 Tempat Jajan Dan Makan Legendaris di Bandung

11) Jajanan Kaki Lima Khas Bandung

12) Ayo Ke Bandung, Peta Kuliner dan Wisata

13) 100 Bangunan Cagar Budaya Di Bandung

14) Oud Bandoeng Dalam Kartu Pos oleh: Sudarsono Katam

15) Pada Suatu Hari oleh: Alinafiah Lubis

16) Made in Bandung

17) Wisata Parijs van Java oleh: Her Suganda

18) Ciri Perancangan Kota Bandung

19) Ramadhan di Priangan Tempo Dulu oleh: Haryoto Kunto

Perjalanan Antara Malang – Bandung

Dengan KA Malabar saya datang ke Kota Malang untuk tujuan utamanya adalah menghadiri acara akad dan resepsi pernikahan keponakan. Hari ini tanggal 13 November 2011 saya sudah siap lagi untuk kembali ke Bandung. Perjalanan Bandung – Malang, sight seeing di  Kota Malang, membeli oleh-oleh berbagai kripik dan dodol buah-buahan, lalu acara intinya yaitu akad dan resepsi pernikahan telah dilalui dengan lancar tidak kurang satu apapun.

Pulang ke Bandung dari Malang segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan baik, maklum mempunyai waktu yang leluasa, kereta  yang akan berangkat jam 15:30 sudah okey dan status tiket sudah dikonfirmasi sejak pemberangkatan dari Bandung, apa lagi?  everything is OK.

Karena tidak punya acara lagi di Malang maka selanjutnya pada  jam 14:00 saya dan istri (kakak melanjutkan perjalanan ke Pasuruan) berdua sudah berada di Stasiun Malang. Tinggal menunggu rangkaian kereta apinya yang pada jam segitu masih diparkir di sana.

Stasiun Kereta Api Malang

Cari-cari makanan di Stasiun Malang yang khas Malang sepertinya tidak menemui, eh tahu-tahu ada pedagang roti didorong di gerobak kecil tertulis nama rotinya “roti Maryam”, ternyata hangat dan lumayan enak. Meski dari Malang tapi saya ternyata belum membeli apel Malang yang terkenal itu. Terpaksa istri saya mencari di stasiun dan kebetulan masih ada yang jualan tinggal satu kantung, memang apel yang berwarna hijau itu cukup manis.

Tepat jam 15:30 rangkaian KA Malabar datang, dan para calon penumpang segera saja tanpa dikomando naik, setelah semuanya beres kemudian kereta diberangkatkan. Kereta ini terus berjalan dari Malang – Blitar – Kediri, sampai di Kediri sudah gelap biasa di luar tidak kelihatan apa-apa. Setelah sholat dan makan seadanya maka kami sudah “tewas” padahal kereta terus berjalan melewati Kertosono – Madiun – Yogyakarta (jam 24:00) – Banjar – Tasikmalaya (jam 05:30) dan itu sudah terang di luar. Kereta terus berjalan sambil memasuki daerah Priangan yang oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya “Jalan Raya Jalan Daendels” disebut Priangan si Jelita.

Sebutan si jelita mungkin karena pemandangannya yang elok dan hijau sejauh mata memandang. Kebetulan pagi itu saat kereta api memasuki wilayah Priangan udara sedang cerah dan langit membiru dihiasi awan putih yang bergerombol menambah indahnya pemandangan. Kelihatan di kejauhan gunung-gunung yang membiru, terus hamparan pesawahan yang menghijau, juga ada hamparan kuning dari padi yang sebentar lagi  menunggu untuk dipanen.

Kalau Pramudya Ananta Toer masuk Priangan dari arah barat, sebaliknya kereta api ini datang ke Priangan dari wilayah timur. Inilah pemandangan yang coba saya foto selagi kereta api berjalan agak pelan sehubungan dengan jalan yang berkelok-kelok mengikuti pinggiran gunung dan bukit.

Pemandangan kala kereta memasuki Priangan 1

Pemandangan kala kereta memasuki Priangan 2

Pemandangan kala kereta memasuki Priangan 3

Pemandangan kala kereta memasuki Priangan 4

Selanjutnya Pramudya menuliskan mengenai Priangan:

“Meninggalkan Bogor berarti memasuki daerah Priangan Si Jelita. Priangan lain dari Jawa Tengah. Penduduknya, etnis Sunda, bila bicara laksana menyanyi. Tidak mengherankan bila kesenia rakyat di sini hidup, berkembang, kreatif, dan lebih dari itu: komunikatif. Sebelum VOC mengacak di pedalaman Jawa, orang Sunda mereka namai Jawa Gunung. Dan etnis Sunda memang menduduki tanah pegunungan dan puncak‑puncaknya bertebaran seperti sedang melakukan rapat abadi. Kehidupan damai membuat Priangan seakan membuat penduduknya tidak pernah beranjak dari gunung-gunungnya. Mereka tidak menyukai kekerasan. Raja‑raja memerintah di sini tidak bertarung satu‑sama lain untuk memperebutkan tempat nomor satu “di atas dunia”. Mereka beruni, nemecahkan kesulitan bersama melalui dialog dan persetujuan bersama. Dalam zaman satria, feodal, yang biasa menulis sejarahnya dengan peperangan. Tidak demikian di Priangan. ”

Karena asik melihat pemandangan di luar sana, ternyata kereta sudah sampai di Stasiun Kiaracondong dan itu artinya Stasiun Bandung sudah di depan mata tinggal beberapa saat lagi. Dan, Alhamdulillah sampailah kami di Kota Bandung.

Tamat.

Akad Dan Resepsi Pernikahan

Saya dan istri sengaja datang ke Kota Malang dengan menggunakan KA Malabar untuk menghadiri akad dan resepsi pernikahan salah sorang keponakan. Baik akad (ikatan) pernikahan maupun resepsinya telah berjalan dengan baik, lancar, tidak kurang satu apapun. Saat tulisan ini dibuat mereka (pengantin) sudah kembali ke Yogyakarta, berbulan madu, dan tentu sudah kembali beraktifitas sebagaimana sebelumnya.

Kalau melihat KBBI bahwa nikah itu artinya adalah ikatan (akad) perkawinan yg dilakukan sesuai dng ketentuan hukum dan ajaran agama. Tentu saja untuk menjadi sahnya perkawinan yang paling pokok adalah rukunnya yakni, bahwa rukun nikah ada lima perkara:

1.      Pengantin lelaki

2.      Pengantin perempuan

3.      Wali pengantin perempuan

4.      Dua orang saksi

5.      Ijab dan Qabul

Wali adalah yang menikahkan, yaitu orang tua yakni bapak dari pihak perempuan atau yang mewakili , pada saatnya akad nikah si Wali mengucapkan ijab kepada pengantin pria yakni kata-kata “aku nikahkan engkau dengan..dan selanjutnya”, kemudian dijawab qabul oleh si pengantin lelaki: “terima saya nikahnya dengan .. dan seterusnya”. Maka sahlah kedua pengantin itu menjadi suami istri.

Pernikahan ternyata sederhana sekali, hanya ijab qobul itu yang paling inti, jadi sederhananya siapapun bisa mengatakan ijab qobul itu, bahkan kalau hanya itu biayanya murah sekali. Adapun mengapa menjadi demikian mahal dan melelahkan adalah tambahannya yang tidak ada hubungannya dengan sahnya sebuah perkawinan.

Yang agak menarik dalam pernikahan ini adalah ketika sebelum akad nikah berlangsung, diberikan dahulu hotbah nikah dengan tema atau topik perkawinan, bahwa dasar perkawinan dalam agama Islam adalah monogami dan bukan sekali lagi bukan poligami, demikian ditegaskan secara pasti oleh Bapak Ustadz. Dan ketika acara selesai baik pengantin maupun hadirin kelihatan cerah dan sumringah.

Tapi sudahlah saya tidak akan membahas tentang perkawinan, sebab acara akad dan resepsinya sekali lagi telah berjalan dengan mulus. Jika jaman dahulu pernikahan selalu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan, sekarang ini lebih praktis menyewa gedung. Gedung tersebut biasanya dilengkapi dengan adanya masjid untuk akad nikah, aula untuk resepsi pernikahan, dan bahkan lengkap dengan penginapan. Agar lebih praktis dan memudahkan koordinasi rombongan pengantin pria, keluarga pengantin wanita, dan panitia, dari kemarinnya sudah berada dan menginap di kompleks tempat akad dan resepsi pernikahan diselenggarakan tersebut.

Dan, setelah selesai acara saya harus segera bersiap-siap untuk pulang ke Bandung, meninggalkan Kota Malang sebetulnya kota yang sangat menarik dan kemarin ketika saya datang ke toko buku Gramedia, ternyata ada buku lengkap panduan mengunjungi Malang, tapi harusnya jangan hanya satu hari, jika ada umur panjang boleh kiranya datang kembali.

Bersambung..

Memotret Gedung Lama di Bandung

Selagi muda saya sama sekali tidak menunjukan minat ke dalam dunia fotografi, jadinya mengenai pembuatan gambar dengan kamera hampir nol besar. Demikian juga dengan hobi mengumpulkan foto, juga tidak punya. Menyesalnya kini ketika masa tua minat saya timbul akan hal-hal yang berbau masa lalu, sebutlah foto-foto bangunan lama dengan sejarahnya.

Kalau saja saya rajin sejak masih muda mengumpulkan foto-foto lama, memail dokumen-dokumen, termasuk mengumpulkan  ijazah atau juga rapor sekolah zaman dahulu, mungkin kalau ada niat menulis atau posting di blog tentang sesuatu yang wis lawas tidak serepot ini. Belakangan ini saya sangat ingin melihat ijazahnya puny kakak saya yang sudah almarhum ketika dahulu lulus AMS Bandoeng.

Tapi, itu semua tak perlu disesali, karena sudah berlalu, dan itu tidak akan kembali, lebih baik apa yang ada dan bisa dilakukan saat ini dalam menjalani hobi atau minat baru yakni berburu foto gedung lama di Bandung. Maksud saya pertama semampunya seorang aki-aki, sekuatnya seorang lansia, seadanya peralatan yakni hanya kamera saku yang sederhana, bahkan hanya menggunakan kamera yang built in dengan HP. Tiada rotan akar pun berguna.

Seyogianya saya bersyukur untuk menunjang hobi baru ini saya mempunyai keuntungan yakni tinggal di Kota Bandung yang tentunya tidak terlalu membutuhkan dana khusus. Hanya dengan naik bus Damri dalam kota, berkendaraan  angkot yang tersedia ke berbagai arah lokasi, terus bahkan dengan cara berjalan kaki sekalian berolah raga dari satu lokasi ke lokasi lain yang berdekatan.

Berburu atau hunting foto gedung lama harus punya waktu, niat, kesempatan, bahkan he he he kesehatan bukan? Dan, menurut saya harus sendirian, waktunya khusus untuk itu, jadi jangan sambilan, jangan sambil belanja misalnya. Nah, kesempatan itu ternyata datang juga hampir dua hari berturut-turut yakni pada pertengahan bulan November 2011 ini.

Dari mana atau dari lokasi mana mulai berburu fotonya sampai kebingungan saking antusiasnya untuk mengawali pemotretan. Akhirnya saya mulai dengan kawasan seputar Alun-alun, dilanjutkan ke  jln Braga, Stasiun KA Bandung, jln Perintis Kemerdekaan, jln Watukencana, jln Merdeka, jln Sumatra,  jln Aceh,  jln Diponegoro,  dan beberapa tempat lagi.

Saat di lokasi pemotretan ternyata ada beberapa kendala misal tenyata memotret gedung yang berlokasi di tepi jalan sulit sekali karena demikian padatnya lalu-lintas kendaraan, padahal memotret gedung yang utuh perlu lahan yang luas dan itu didapat  umumnya diambil dari seberang jalan. Kendala berikut adalah gedung-gedung lawas tersebut ternyata sebagian besar dipagar, dan bahkan ada bangunan yang tertutup oleh rindangnya daun pepohonan, jadi cukup kebingungan dari sudut mana potret harus diambil. Ketiganya gedung-gedung banyak yang digunakan oleh instansi dinas seperti misal instansi militer, kepolisian, departemen, dan juga sekolah. Tentu ada penjaganya, ada piketnya, dan ada sekuritinya. Saya juga tidak begitu mengerti apakah kalau memotret  bangunan gedung perlu minta izin kepada yang jaga atau tidak? Mestinya iya memang harus, adab yang baik meskipun tidak tertulis seyogianya harus meminta izin.

Tapi karena saya cuma tukang foto amatiran, kemudian kalau minta izin rasanya terlalu berlebihan, apalagi harus melalui birokrasi permintaan permohonan tertulis. Akhirnya diambil kebijaksanaan sendiri, pertama selama masih bisa memotret lokasi dengan diam-diam ya.. dijepret saja. Atau keliling-keliling dahulu,  istirahat dahulu supaya jangan dicurigai orang, begitu ada kesempatan ya begitu saja,  jepret lagi. Jika ada sekuriti di situ dan saya hanya mengandalkan “ketuaan” , ditandai dengan uban, dan dengan gaya “segala kepolosan dan ketidak tahuan”, memohon dengan segala hormat untuk memoto gedung. Entah kasihan atau memaklumi seorang lansia maka selama ini tidak mengalami kesulitan, lancar saja tuh!

Dan dari begitu banyak lokasi atau gedung yang dianggap cagar budaya saya sudah berhasil memotret sekitar 50 lokasi/Gedung. Padahal dalam buku keluaran baru  “100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung” oleh Harastoeti DH,  baru 100 gedung yang dijadikan cagar budaya, dan masih banyak lagi.

Setelah dua hari berburu foto gedung lama di Kota Bandung, maka saya sudah berhasil mengumpulkan gambar-gambar sebagai berikut:

  1. Grand Hotel Preanger, jln Asia Afrika
  2. Savoy Homann, jln Asia Afrika
  3. Apotik Kimia Farma, jln Asia Afrika
  4. Gedung De Vriest, jln Asia Afrika
  5. Gedung Merdeka, jln Asia Afrika
  6. Gedung PLN, jln Asia Afrika
  7. Eskomto bank, jln Asia Afrika
  8. Kantor Pos Bandung, jln Asia Afrika
  9. Yayasan Kebudayaan, jln Naripan
  10. Centre Point, jln Braga
  11. Landmark, jln Braga
  12. Gedung Bank BJB, jln Braga
  13. Bank Indonesia, jln  Braga
  14. Gereja Bethel, Wastu Kancana
  15. Polrestabes Bandung, jln Merdeka
  16. Gereja, jln Merdeka
  17. SDN Banjarsari, Jln Merdeka
  18. SMPN 5 Bandung, jln Sumatra
  19. Kantor Pusat PT KA Indonesia
  20. Indonesia Menggugat, jln Perintis Kemerdekaan

Sekian 20 lokasi gambar dahulu nanti disambung lagi.

Sebagai contoh di bawah ini:

Hotel Savoy Homann Kini, koleksi Aki Eman

 

Hotel Savoy Homann dulu. (1947), koleksi Nederlands fotomuseum

He he he malah bagusan foto tempo dulunya ya..

Harapan saya semoga kelak satu persatu dari bangunan lawas di Kota Bandung ini akan menjadi  bahan untuk postingan.

Datang Ke Kota Malang

Sekitar jam 09:00 pagi pada hari Sabtu tanggal 12 November 2011, saya turun dari Kereta Api Malabar setelah menempuh jarak perjalanan sepanjang 740 Km antara Bandung – Malang, itu ditempuh dalam waktu 17 jam. Setelah makan semangkuk soto ayam panas di sekitar Stasiun Kota Malang, maka perjalanan dilanjutkan menuju penginapan dimana penginapan itu ada di kompleks yang akad dan resepsi pernikahan diselenggarakan.

Acara pernikahan sendiri masih esok pagi jadi hari ini rencananya akan jalan-jalan keliling kota Malang, tapi karena lumayan ngantuk, maka begitu datang ke penginapan langsung tertidur, menjelang sore baru jalan-jalan terlaksana.

Keadaan udara Kota Malang mungkin sama saja dengan Kota Bandung, yang belakangan di Bandung juga tidak terlalu dingin seperti zaman dahulu. Kesan sementara Kota Malang adalah bersih dan rindang dengan pepohonan yang hijau. Banyak taman dan lahan kosong ditanami dengan berbagai tanaman hijau. Di alun-alun kota didapat banyak pohon beringin, sebagaimana di kota-kota lain di Jawa.

Kota Malang Yang Rindang 1

Kota Malang Yang Rindang 2

Karena besok hari takut tidak kebagian waktu, maklum setelah menghadiri acara pernikahan sorenya akan langsung pulang ke Bandung, maka hari ini jangan dilewatkan membeli oleh-oleh. Yang ada di benak saya kalau makanan di kota Malang adalah pertama apel dan keduanya he he he .. bakso Malang. Ternyata oleh-oleh yang bisa dibawa adalah berbagai keripik buah-buahan dan juga dodol juga dari berbagai buah-buahan.

Oleh-oleh Khas Malang

Daftar Keripik Buah-buahan Malang

Sewaktu keliling-keliling kota saya menemukan jalan Bandung dan jalan Bogor, saya belum searching di google apakah ada jalan Malang di Bogor dan di Bandung. Dan bagaimana sejarahnya sampai Bandung dan Bogor ada di Malang, orang Bandung dan Bogor mesti berterima kasih kepada Kota Malang he he he!

Apa Ada Jalan Malang di Bogor?

Apa Ada Jalan Malang di Bandung?

Mengenai bakso Malang, saya tak begitu memperhatikan apakah bakso tersebut di Kota Malang disebut atau ditulis Bakso Malang juga? Istri saya sangat ingin menikmati  bakso Malang di kota Malang, tapi itu tak terlaksana, karena waktunya mepet, lagian buanyak makanan, maklum di tempat penyelenggaraan kenduri perkawinan bukan?

Karena masih penasaran dengan yang namanya bakso Malang maka terlaksananya malah di KA Malabar pesan dari restorasi, ternyata agak mengecewakan karena pertama tidak panas, kedua tidak spesifik lengkap sebagaimana bakso Malang, ketiganya harganya Rp 15.000, he he he.

Bersambung..

Ka Malang, Ya KA Malabar Lah..!

Tempo hari saya telah menulis mengenai Jadwal Perjalanan Kereta Api Malabar  singkatan dari Malang Bandung Raya. Beberapa informasi sudah saya dapatkan, dan rencana sudah dimatangkan. Rencana dari Bandung datang ke Kota Malang adalah untuk menghadiri akad dan resepsi pernikahan keponakan yang tinggal di Yogyakarta akan tetapi calon  istrinya putri Malang.

Alasan lain adalah sa-umur-umur sayabelum pernah menginjakan kaki di Kota Malang, padahal sudah ada kesempatan, hitung-hitung rekreasi, meski usia saya, istri, dan seorang kakak sudah lansia, asal sedang kondisi sehat happy-happy saja dong untuk jalan-jalan. Jadi karena kami sudah berumur diatas 60 tahun, maka mendapatkan potongan harga tiket sebesar 20%. Akan tetapi agak kecewa karena ternyata meskipun perjalanan selama 17 jam tapi kami tidak mendapatkan pembagian makanan gratis dari restorasi.

Perjalanan dengan Kereta Api menurut saya lebih menyenangkan, karena bisa duduk santai, bisa berdiri, bisa berjalan-jalan, dan juga bisa ke kamar kecil yang disediakan meskipun masih jauh dari memuaskan. Naik KA juga jadi teringat nyanyian Naik Kereta Api:

Naik Kereta Api

Tut tut tut siapa hendak turut

Ke Bandung Surabaya

Bolehlah naik dengan percuma

Ayo kawanku lekas naik

Keretaku tak berhenti lama.

Kata orang he he he mengapa dulu KA sering merugi karena nyanyian ini, karena ada kalimat:  “Bolehlah naik dengan percuma”, jadi banyak yang ingin gratis, itu dulu sekarang harus alias kudu membeli karcis jika ingin naik kereta api.

Nah, inilah tiketnya sudah saya beli

Tiket KA Bandung - Malang

Harga tiket Eksekutif sebesar Rp 265.000 akan tetapi karena mendapat potongan untuk lansia harganya menjadi Rp 212.000.

Inilah Kereta Api Ekspres Malabar:

KA Malabar BDG-Malang Siap Berangkat

Kereta Api sudah siap berangkat. Ketika sedang memotret KA saya sempat ditegur oleh satpam yang sedang bertugas di situ, katanya kalau bukan penumpang dan jika ingin memotret harus mempunyai izin dahulu. Tapi karena saya penumpang KA tersebut jadi boleh saja! Sumprit baru tahu aturannya begitu.

Persis jam 15:30 KA Malabar mulai bergerak dan selanjutnya berjalan dengan lancar, dengan suara kereta api yang monoton, jugjreg.. jugjreg.. jugjreg!

Inilah bagian dalam gerbong eksekutif:

KA Malabar Gerbong Eksekutif

Dan di bawah ini adalah gerbong Kelas

KA Malabar Gerbong Kelas

Gerbong eksekutif memakai AC, sedangkan gerbong kelas memakai kipas angin.

Karena sudah saya sebutkan bahwa selama perjalanan tidak diberikan makanan, untung istri saya membawa persiapan konsumsi cukup memadai sehingga urusan perut beres sudah. Memang iya bisa makan di restorasi akan tetapi tarif makanannya cukup mahal, lihat saja harga dari menu di bawah ini:

Menu Makanan di KA Malabar

Setelah lewat Tasikmalaya di luar KA hari sudah mulai gelap, tidak ada lagi yang bisa dilihat, meski berhenti di beberapa stasiun lagi seperti Stasiun Banjar, akan tetapi tetap saja tak kelihatan, oleh karena itu setelah cukup makan, membaca koran, dan juga membaca dua buah buku tipis bawaan sampai tamat.. lalu mata sudah tidak kuat lagi menahan kantuk, dan ahirnya tertidur. Sementara KA terus berjalan Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono.

Dan.. sampailah pagi hari di Kediri, baru di luar terang benderang, kereta api tetap bersuara monoton jugjreg.. jugjreg.. jugjreg..! lalu Blitar, dan.. sampailah di Stasiun Baru Malang, inilah tanah Kota Malang yang untuk pertama kalinya saya injak.

Bersambung..

 

Aku dan Buku

Aku sendiri  tidak begitu yakin apakah aku ini termasuk penggemar membaca buku atau bukan, tapi kalau mengumpulkan buku bacaan, buku apa saja, merasa iya, dan memang ada buktinya terkumpul sedikit buku yang aku tempatkan di mushala kecil di rumahku. Seperti terlihat di foto-foto di bawah ini

Kumpulan bukuku 1

Kumpulan bukuku 2

Kumpulan bukuku 3

Kumpulan bukuku 4

Ini bukan pameran buku karena mungkin milik Anda lebih banyak, lebih baik, dan lebih bermutu. Aku hanya ingin memperlihatkan bahwa buku-buku tersebut dikumpulkan satu demi satu selama kurang lebih 10 tahunan.

Cukup membuat aku merasa happy adalah kalau aku dibiarkan dilepas di toko buku.  Satu lagi kalau ditawari anak-anak untuk ditraktir makan atau diajak jalan-jalan di mal aku lebih baik dibiarkan di perpustakaan atau di toko buku saja.

Kalau dilacak sejak masa kecil di SD (saat itu bernama SR) tahun 50-an memang aku sering dimarahi kakak yang suami istri guru SD, karena membuat berantakan susunan bukunya, buku yang pertama aku baca adalah sebuah novel berjudul  “I Swasta Setahun di Bedahulu” karya AA Panji Tisna. Dimarahi berikut adalah karena membongkar dan membuka bungkus kiriman koran “Pikiran Rakyat” yang baru saja datang, bundel koran yang dikumpul beberapa  hari sekaligus, dan itu dikirim dari ibu kota kabupaten,  koran tersebut adalah langganan para guru SD. Alasan aku membongkarnya sederhana saja karena ingin melihat serial komik “Rip Kirby and The Mangler” yang terletak di halaman dalam koran tersebut.

Selanjutnya setelah berumah tangga, membaca dan mengunjungi toko buku atau juga perpustakaan agak berkurang karena pertama kesibukan di pekerjaan dan keduanya kalau di rumah bersama-sama istri mengurus dan membesarkan anak. Kami sekeluarga jarang sekali mempunyai pembantu. Meski begitu kalau turun ke kota kalau cuti aku tidak pernah lupa mengunjungi toko buku apalagi kalau cuti ke Bandung tidak lupa mengunjungi toko buku Gramedia baik yang ada di seberang BIP jln Merdeka  atau BSM jln Gatot Subroto . Semasa dinas jarang sekali membeli  buku karena merasa percuma karena tidak akan sempat membacanya.

Ketika saya bekerja di sebuah pembangunan konstruksi sebuah pabrik dimana banyak expatriat umumnya orang Amerika mereke menyekolahkan anaknya  di sekolah international school, dan karena ada perpustakaannya akupun sempat menjadi anggota. Baik meminjam maupun mengembalikan buku tidak terlalu jelimet, bahkan kalau mengembalikan cukup “dilempar” saja di keranjang di depan pintu perpustakaan.

Nah, saat usia pensiun tiba yaitu umur 55 tahun pada tahun 2001,  ada banyak waktu dan mulai membeli serta menyusun buku-buku yang letaknya berserakan di mana-mana di rumah. Dua anak aku yang pertama dan nomor dua tidak begitu banyak peninggalan buku kuliahnya, aku sendiri tidak mengerti mengapa mereka tidak pernah meminta uang untuk membeli buku kuliahnya atau bidangnya. Akan tetapi anak bungsu lebih rajin membeli buku jadi tidak cukup hanya foto kopian atau diktat-diktat dari kuliahnya, sehingga begitu selesai kuliah ada lumayan bukunya yang sekarang aku simpan.

Lanjut, sudah 10 tahun ini aku mulai mengumpulkan atau membeli buku, dan juga sudah mulai membacanya satu demi satu. Demikian juga mengunjungi toko buku dan perpustakaan daerah yang ada di kota  Bandung yang kebetulan relatif dekat dengan rumah. Setelah pensiun, sekali lagi, terasa banyak waktu dan kesempatan untuk baik membeli buku maupun membacanya. Akan tetapi bersamaan dengan itu kemampuan untuk  membeli buku berkurang karena menurut perasaanku harga buku semakin mahal. Misalnya sebuah buku baru berjudul  “100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung” karangan Harastoeti DH berharga Rp 175.000. Sedangkan buku-buku lain yang tergolong “murah” rata-rata diatas Rp 50.000-an.

Karena harga-harga buku demikian mahal, maka kalau aku datang ke toko buku hanya untuk membeli buku yang obralan atau yang discount  saja, misal harga buku novel hanya sekitar Rp 11.000 atau buku novel yang agak tebal seharga Rp 14.000. Jadi kalau belanja buku Rp 50.000 bisa membeli 3 tau empat buku. Buku-buku tersebut tidak pilih-pilih buku apa saja asal cocok dibeli saja. Saking seringnya datang ke tempat obralan buku sehingga bukuku menumpuk di rumah menunggu giliran untuk dibaca, bahkan payahnya aku terkadang lupa sehingga dobel membeli buku.

Di bawah ini adalah belanjaanku buku-buku obralan.

Buku obralan 1

Buku obralan 2, buku terbaru yang aku beli

Kemarin ini aku datang ke sebuah toko buku kecil di kota Bandung yang relatif dekat dari rumahku. Disana ada diobral buku-buku yang aku sama sekali belum pernah membaca referensinya apalagi mengenal karya lain pengarangnya. Tapi buku itu dibeli saja dahulu soal membacanya nanti belakangan, dan 3 buku tersebut belum tentu tamat dibaca dalam satu bulan.

Saat ini aku sedang menunggu “warisan” buku dari salah seorang kakak ipar yang gemar membaca dan mengumpulkan buku. Beliau almarhum dan kemudian istrinya menyusul berpulang ke rahmatullah. Kalau tidak dikasihkan juga biar saja diberi kesempatan untuk memelihara dan membacanya.

Dari pengalaman dalam mengumpulkan buku dan sekali gus membacanya aku merasa sangat prihatin karena kebanyakan dari kita sangat kurang minatnya tehadap buku, terlihat dari minat membaca misalnya di tempat umum jarang ditemukan, sepinya perpustakaan. Bahkan aku perhatikan di sebuah pusat perbelanjaan banyak pengusaha yang mencoba membuka toko buku akhirnya g gulung tikar karena sedikitnya peminat, kemudian beralih ke usaha lain.

Semoga ke depan minat membaca kitaakan lebih baik lagi.