Yang ini pasti sudah hapal: Kemanusiaan yang adil dan beradab mempunyai makna menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar. Mengembalikan hak kepada yang empunya, dan tidak berlaku zalim atau aniaya. (Nurlinda Permatasari).
Tapi untuk binatang, karena hewan tidak berakal budi seperti manusia maka kita ambil dan diterapkan kepada binatang adalah “tidak berlaku zalim dan aniaya”. Ajaran agama pun misal dalam agama Islam sering dijadikan contoh “seseorang akan masuk neraka karena mengurung seekor kucing dan tidak memberinya makan, hingga kucing itu mati”. Juga ada contoh cerita lain “bahwa seseorang akan masuk sorga gara-gara memberi minum anjing yang kehausan, padahal airnya dari sumur diciduk dengan sepatu butut”.
Beberapa hal yang baik tentang memperlakukan hewan atau binatang bisa dilihat di filem-filem buatan barat, hal-hal baik tentang menyayangi binatang perlu ditiru. Menjaga keseimbangan hewan buruan, hanya yang betul-betul populasinya sudah kebanyakan, atau hanya berburu binatang yang sudah tua saja. Sampai memancing pun andai tidak perlu, karena di rumah ikan sudah cukup, tidak perlu rakus hasil tangkapan dilepaskan bebas kembali.
Kita pernah dikritik oleh Negara lain atas perlakuan yang tidak hewani terhadap binatang sembelihan yang tidak diperlakukan sebagaimana layaknya, karena sepertinya penyembelihan cara begitu dianggap membuat panjangnya penderitaan hewan yang disembelih. Belum lagi ayam yang didistribusikan ke pasar-pasar untuk disembelih, dimana ayam ditempatkan di keranjang ala kadarnya, terus dibawa memakai kendaraan motor roda dua, dimana kepala ayam hampir terseret di aspal jalanan. Juga perlakuan yang sungguh keterlaluan terhadap hewan yang akan dijual, dimana sapi “digelonggong” dipaksa meminum air biar timbangan hewan tersebut menjadi lebih berat.
Yang astagfirullah alazim, jauh dari perikebinatangan adalah sewaktu karapan sapi dimana dilakukan tradisi rekeng (kekerasan) terhadap hewan yang diperlombakan itu. Kekerasan berupa pemberian rangsangan terhadap sapi berupa penggosokan balsam ke mata sapi dan ada yang membalur dengan sepiritus sesaat sebelum lomba dimulai. Tambahan lagi adalah saat berpacu di arena balapan dimana bagian belakang sapi di atas ekor di pecut dengan batang kayu berujung tajam berpaku. (MUI Pamekasan). Itulah cerita kelam tentang perlakuan kita terhadap binatang.
Dari buku “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” oleh Haryoto Kunto, Sejak kota Bandung mendapat status Gemeente (1906) berdiri “Vereeniging tot Bescherming van Dieren” (Perkumpulan bagi Perlindungan Binatang). Perkumpulan itu berusaha untuk mencegah perlakuan kejam manusia terhadap binatang. Seorang kusir dokar jangan coba-coba menyiksa kuda dengan cemeti di jalan raya. Ia bakal ditahan opas dan mesti mendekam dalam sel! Selain itu di Bandung terdapat pula sebuah “Wisma Perlindungan Hewan”, sebuah tempat untuk menampung dan memelihara binatang piaraan yang diserahkan oleh pemiliknya, karena tidak sanggup lagi mengurusnya.
Satu abad kemudian kita masih boro-boro perhatian terhadap kesejahteraan binatang, wong kepada kesejahteraan manusia juga masih menyedihkan.