Manusia Sunda, Pangeran Kornel

Pangeran Kornel ialah nama sebutan bagi Pangeran Kusumah Dinata, karena dalam peperangan menghadapi Pangeran Dipanegara (1925‑1930), dia oleh Belanda diangkat sebagai kolonel tituler. Istilah “kolonel” yang masih jarang pada masa itu, berubah menjadi “kornel”. Nama “Pangeran Kornel” itu sendiri lebih termashur daripada namanya yang sebenarnya.

Ketika masih anak‑anak, namanya ialah Raden Jamu. Dia putra bupati Sumedang yang bernama Raden Adipati Surianagara (1761‑1765). Ketika ayahnya meninggal, Jamu masih kecil. Dia diasuh oleh bibinya, yaitu istri adik ayahnya yang menggantikan ayahnya itu sebagai bupati Sumedang, bernama Raden Adipati Surialaga (1765‑1773). Adipati Surialaga pun mempunyai seorang anak laki‑laki pula, yang lebih muda dari Jamu, ialah Raden Ema. Keduanya belum cukup dewasa ketika Adipati Surialaga pun meninggal. Maka sebagai bupati Surnedang, diangkatlah Tumenggung Tanubaya yang sebelumnya menjadi bupati di Parakanmuncang.

Pada masa itu ada kebiasaan bahwa yang diangkat sebagai pengganti bupati sesuatu daerah, haruslah keturunan langsung daripada bupati yang sebelumnya, artinya harus keturunan bupati setempat atau keluarga dekatnya. Tentu saja yang dianggap akan setia kepada “pemerintah agung”, yaitu Kompeni Belanda. Kalau calon yang berhak dianggap akan bersikap memusuhi Belanda, biasanya disingkirkan dengan berbagai cara.

Baru kalau dari antara keluarga bupati setempat tidak ada yang layak diangkat sebagai pengganti, dicarilah calon dari tempat lain yaitu yang sudah diketahui kecakapan dan kesetiaannya. Dalam hal ini agaknya Tumenggung Tanubaya dianggap memenuhi syarat itu.

Walaupun dengan perasaan kurang puas, namun keluarga menak Surnedang menerima pengangkatan itu karena memang calon Sumedang yang berhak sendiri masih belum sampai umur. Tetapi ketika dua tahun kemudian Tumenggung Tanubaya berhenti, ternyata yang diangkat bukanlah Jamu yang ketika itu sudah dewasa, melainkan Tumenggung Patrakusumah menantu Tumenggung Tanubaya. Tindakan pemerintah Belanda itu menimbulkan rasa tidak puas di kalangan keluarga menak Sumedang, tetapi juga menimbulkan kecuripan di pihak TumenggungTatrakusumah sendiri.

Suasananya sedemikain rupa, sehingga Jamu menganggap perlu untuk menghindar dari Sumedang. Plot ini telah menyebabkan seorang pengarang Sunda yang terkemuka, Memed Sastrahadiprawira (1897 – 1932) menulis sebuah roman berdasarkan riwayat hidup Jamu, berjudul Pangeran Kornel (1930) yang sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (1948). Di dalam roman itu Memed menampilkan seorang tokoh (yang mungkin) fiktif, yaitu Demang Dongkol, yang dilukiskan sebagai penghasut yang makin rnengeruhkan hubungan antara Jamu dengan Tumenggung Patrakusumah, walaupun yang terakhir itu telah mengambil Jamu sebagai menantu.

Jamu melarikan diri ke Malangbong, kemudian ke daerah Cianjur. Di Cianjur dia mendapat perlindungan dan kepercayaan dari Raden Aria Adipati Wiratanudatar yang ketika itu menjadi bupati (1776-1781). Bupati Wiratanudatar yang pernah mengenal ayah Jamu, bersimpati kepada anak muda itu. Diberinya pekerjaan di lingkungan kabupaten, dan ketika terbuka lowongan Kepala Cutak Cikalong Wetan, maka ditempatkannya di sana. Jamu pun dinikahkan dengan salah seorang kerabatnya.

Ketika Jamu duduk sebagai Kepala Cutak Cikalong Wetan itulah datang Ema Surialaga, adik sepupunya, yang juga merasa kurang aman hidup di tempat kelahirannya sendiri (Sumedang). Ema pun mendapat simpati bupati Wiratanudatar. Dia diangkat sebagai jurutulis kabupaten, kemudian ketika ada lowongar, diangkat sebagai mantri kudang kopi di Bogor, bahkan kemudian menjadi bupati Bogor, bupati Karawang dan bupati Sukapura. Ema mengundurkan diri dari jabatan terakhir itu atas permintaannya sendiri.

Ketika ada lowongan sebagai patih di Sumedang, maka Jamu pun diangkat untuk menjabat kedudukan itu dengan pangkat Demang. Setelah beberapa lama memangku jabatan itu, maka pada tahun 1791, dia pun diangkat sebagai bupati Sumedang dengan gelar Tumenggung Surianagara.

Sebagai bupati dia terkenal bijaksana. Pada masa pemerintahannya kehidupan rakyat berkembang dengan baik dan sejahtera. Dia pun terkenal sebagai bupati yang cakap serta jujur.

Kebijaksanaannya sebagai bupati yang bersih dan keberhasilannya meningkatkan kehidupan rakyat Sumedang, dapat dibuktikan antara lain dari berbagai kesaksian para pejabat Belanda pada waktu itu. Salah seorang di antaranya ialah yang bernama Nicolaas Engelhard yang dalam kesempatan memeriksa perkebunan kopi di seluruh Priangan, sempat singgah di Sumedang. Tentang daerah Sumedang dia menulis, bahwa setelah diperintah oleh Tumenggung Surianagara, daerah itu mencapai banyak kemajuan, bahkan dikatakannya: daerah yang asalnya hutan telah menjelma menjadi surga. Dipujinya Tumenggung Surianagara sebagai bupati yang jujur. Walaupun dia bukan seorang yang kaya, namun tidaklah ia melakukan perbuatan tercela mengumpulkan kekayaan pribadi berdasarkan jabatan dan kekuasaannya sebagai bupati. Dia disebut hidup sederhana dan sering meninjau keadaan rakyatnya yang hidup di pedalaman.

Karena jasa-jasanya itulah maka dia kemudian diangkat menjadi Pangeran dan namanya bertukar menjadi Pangeran Kusumah Dinata. Di samping itu ia pun memperoleh pula medali emas dengan ukiran kata-kata: “Atas nama Sri Maharaja, medali ini diberikan oleh Komisaris Jenderal kepada Pangeran Kusurnah Dinata, bupati Sumedang, sebagai ganjaran atas keberanian dan kesetiaannya.”

Keberanian dan kesetiaan itu diperlihatkannya pula tatkala ia bersama-sama dengan bupati-bupati Karawang, Subang dan Cirebon memimpin pasukan yang membantu pasukan Kompeni untuk memadamkan pemberontakan yang terjadi di Jatitujuh, yang dipimpin oleh Bagus Rangin sekitar tahun 1806. Pemberontakan itu meletus karena rakyat daerah Cirebon tidak tahan lagi hidup dalam pemerasan orang-orang Cina yang memperoleh hak-hak istimewa karena telah menyewa desa-desa sebagai tanah partikelir; dan juga karena penangkapan atas Raja Kanoman yang dicintai rakyat. Penangkapan itu dilakukan Belanda dengan suatu muslihat, setelah kerusuhan-kerusuhan timbul di seluruh wilayah Cirebon sejak tahun 1802, karena Belanda mengangkat Pangeran Surantaka yang tidak populer sebagai pengganti Sultan Kanoman yang meninggal dunia pada tahun 1798. Pangeran Surianagara atau Raja Kanoman yang lebih berhak atas kedudukan sultan tersingkir dari istana bersama dengan dua orang saudaranya yang lain, yaitu Pangeran Kabupaten dan. Pangeran Lautan. Ketiganya segera mendapat simpati rakyat yang sudah lama tertekan dan merasa tidak puas, dan berperan sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1805 Belanda mengundang ketiganya untuk berunding di Betawi. Tetapi ketika ketiganya tiba di sana, mereka ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Pemberontakan Bagus Rangin merupakan lanjutan dari perlawanan yang sebelumnya dipimpin oleh ketiga pangeran dari Kanoman itu.

Pasukan Bagus Rangin yang dikepung dari segala arah, dapat dikalahkan. Tetapi Belanda juga segera mengembalikan Raja Kanoman dari pengasingan dan mengangkatnya sebagai sultan, sedangkan orang-orang Cina tidak diperkenankan lagi tinggal di daerah pedalaman.

Yang menarik di sini ialah karena menurut Pangeran Kusumah Dinata sendiri, pemberontakan rakyat di daerah Cirebon yang merembet pula ke perbatasan Sumedang itu, disebabkan karena terlalu kejamnya tindakan dan kelakuan para penguasa kolonial sendiri. Di daerah Sumedang ada seorang komisaris Belanda, Lawick van Pabst, yang menyiksa seorang cutak dari Conggeang, sehingga cutak yang bernama Baen itu menggabungkan diri dengan para pemberontak bersama. 77 orang pengikut.

Sinyalemen itu menunjukkan bahwa Pangeran Kusumah Dinata itu seorang yang realistis, yang yakin bahwa rakyat tidaklah akan memberontak terhadap atasannya kalau saja mereka diperlakukan dengan baik. Para pejabat seharusnya menjadi pelindung dan pernimpin takyat dan bukan menjadi pemeras atau penindasnya. Dia sendiri sebagai bupati merasa berkewajiban untuk melindungi dan membela rakyatnya dari perlakuan yang tidak senonoh. Hal itu dibuktikannya sendiri pada peristiwa yang terjadi waktu pembuatan jalan raya Anyer-Banyuwangi.

Jalan raya Anyer-Banyuwangi, yang menjelusuri Pulau Jawa dari Barat ke Timur, dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1807-1811). Dari Bandung jalan itu menuju ke Cirebon dan Semarang dengan melalui kabupaten Sumedang. Tetapi pekerjaan pembuatan jalan di suatu tempat di wilayah kabupaten Sumedang itu sangat lambat, sehingga terjadilah suatu. peristiwa yang kemudian menjadi termashur dan mengharumkan nama Pangeran Kusumah Dinata sebagai bupati yang mencintai dan melindungi rakyatnya, karena berani membela rakyatnya itu di hadapan Gubernur Jenderal Daendels yang terkenal galak dan pernarah.

Pembuatan jalan raya itu, yang disebut juga sebagai jalan pos, sebenarnya lebih bermotifkan kepentingan militer. Daendels sebelum diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, aktif dalam militer dan politik di negerinya. Sebagai gubernurjenderal, dia terkenal keras, baik terhadap kaum pribumi maupun terhadap bangsa Belanda sendiri. Dia melakukan berbagai tindakan yang tegas terhadap para pejabat Kompeni yang korup, tetapi terlebih dahulu menaikkan gaji yang sebelumnya memang sangat, rendah. Dia pun memperluas praktek tanam paksa yang sangat menguntungkan Kompeni. Ketika ia menerima jabatan itu dari Gubernur Jenderal AT Wiese (1805‑1808), tugas utamanya ialah untuk menjaga kepentingan Belanda dari ancaman Inggris yang kekuasaannya makin besar di daerah‑daerah pengaruh Belanda. Jumlah tentara Kompeni ditambahnya dengan sukarelawan‑sukarelawan pribumi, lalu ia pun mendirikan pabrik senjata di Surabaya, mendirikan sekolah perwira di Semarang, pabrik cor besi meriam di Jakarta, dan lain-lain. Dalarn pembuatan jalan raya Anyer‑Banyuwangi itu kekejamannya sangat terkenal. Dia tidak mempedulikan berapa banyak kurban manusia yang jatuh. Yang penting baginya pekerjaan itu harus selesai sesuai dengan keinginannya.

Untuk pembuatan jalan itu dikerahkan tenaga pribumi melalui pejabat‑pejabat setempat. Maka orang‑orang didatangkan dari daerah-daerah yang jauh, meninggalkan anak istri dan pekerjaannya sehari‑hari.

Di sebelah barat kota Sumedang, ada gunung batu cadas yang sangat keras. Di situ pembuatan. jalan sangat lambat, karena orang‑orang bekerja hanya dengan tangan dan dengan alat‑alat yang sangat sederhana, seperti linggis dan cangkul. Berbulan‑bulan sudah dikerjakan, namun hasilnya hampir tidak ada. Maka ketika Gubernur Jenderal Daendels sendiri hendak datang mengontrol pembuatan jalan itu, orang‑orang sudah diliputi kecemasan, karena mereka sudah mendengar tentang kegalakan dan kekejamannya. Daendels sebelum berangkat ke Hindia Belanda diangkat sebagai nurschalk yang oleh lidah orang Jawa disesuaikan dengan sifatnya yang galak lantas terkenal sebagai Mas Galak. Orang‑orang sudah dapat membayangkan betapa akan murkanya Tuan Besar Mas Galak kalau melihat bahwa pembuatan jalan di gunung cadas itu belum ada hasilnya. Tetapi Bupati Kusumah Dinata tidak memperlihatkan rasa cemas. Tatkala Gubernur Jenderal Daendels tiba, disambutnya dengan langkah tetap sedang tangan kanannya erat memegang hulu keris yang sudah digilirkannya ke depan (biasanya keris diselipkan di belakang, kecuali dalam perang). Tatkala Gubernur Jenderal menyodorkan tangan untuk bersalaman, Pangeran Kusumah Dinata menyambutnya dengan tangan kiri.

Tentu saja perbuatan itu mengejutkan Daendels. Tidaklah biasa orang menyambut uluran tangan dengan tangan kiri, apalagi kalau tangan kanannya memegang hulu keris. Karena melihat kelakuan yang luar biasa itu, Gubernur Jenderal Daendels tidak segera menegur soal keterlambatan pekerjaan membuat jalan. Menurut imajinasi pengarang Memed Sastrahadiprawira, di antara kedua pembesar itu terjadi percakapan sebagai berikut:

Daendels: “Bupati, apa maksud Tuan menerima uluran tangan kami dengan tangan kiri?”

Pangeran Kusumah Dinata: “Kanjeng Tuan Besar, saya tidak dapat melaksanakan tugas yang Tuan Besar berikan, karena perintah itu tak mungkin dilaksanakan. Bukan maksud saya mengelakkan perintah, bukan pula karena tidak mempunyai keinginan bekerja dengan sungguh‑sungguh melainkan ingin mendapat pertimbangan bahwa pekerjaan yang saya hadapi sangatlah beratnya, jauh lebih berat dibandingkan dengan yang dihadapi oleh yang lain. Namun karena saya tidak melihat kemungkinan akan memperoleh pertimbangan demikian dari Kanjeng Tuan, maka saya ingin memperlihatkan bahwa bupati Sumedang yang bernama Pangeran Kusumah Dinata lebih suka mati berkalang tanah daripada harus melaksanakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan rasa keadilannya. Kalau terpaksa, saya lebih suka disebut sebagai orang keras kepala daripada dituduh membunuh rakyat saya sendiri yang tak berdosa.”

“Apa, yang menjadi keberatan Tuan, kalau kami boleh tahu?”

Maka Pangeran Kusumah Dinata pun menceritakan masalah yang dihadapinya. Daerah itu jarang penghuninya, sehingga orang‑orang yang bekerja di situ didatangkan dari daerah yang jauh, yang mengandung arti orang itu harus meninggalkan anak istri atau,keluarganya, dan juga pekerjaannya sehari‑hari yang menjadi sumber pengludupannya. Sedangkan alat‑alat yang dipergunakan sangat sederhana pula.

Mendengar keterangan Bupati Kusumah Dinata, Gubernur Jenderal Daendels pun menjadi maklum, bahwa keterlambatan pekerjaan di situ bukanlah karena kesengajaan ataupun kelalaian. Dia memuji keberanian Pangeran Kusumah Dinata. Kepada ajudannya dia memerintahkan agar ke situ dikirimkan pasukan zeni, untuk menolong menghancurkan batu cadas yang tak mungkin dilinggis itu dengan rnenggunakan dinamit.

Bagian jalan di gunung batu cadas itu, tempat Pangeran Kusumah Dinata berhadapan dengan Gubernur Jenderal Daendels, sekarang terkenal dengan nama “Cadas Pangeran” sebagai peringatan akan keberanian seorang pejabat dalam membela rakyatnya. Walaupun jalan yang sekarang sesungguhnya bukanlah jalan yang dibuat pada masa Pangeran Kusumah Dinata lagi (yang dikenal sebagai “jalan heubeul” atau jalan lama yang letaknya di atas jalan yang sekarang dipergunakan), namun nama “Cadas Pangeran” itu masih tetap melekat.

Peristiwa itu pun dapat pula, dilihat sebagai pernyataan keberanian Pangeran Kusumah Dinata dalam mengemukakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Kalau ia yakin akan kebenaran itu, maka dia berani mengemukakannya di hadapan siapa pun juga, meskipun untuk itu ia harus mempertaruhkan kedudukan dan keselamatan dirinya.

Kejadian yang berlangsung di Istana Bogor pada tahun 1811, niscaya merupakan bukti akan sifatnya yang berani mengemukakan keyakinannya sendiri, walaupun dia tahu bahwa hal itu mengandung bahaya bagi dirinya pribadi.

Pada waktu itu Belanda, terpaksa menyerahkan kedudukannya sebagai penguasa Jawa kepada Inggris, yang berlangsung selama lima tahun (1811 ‑ 1816). Ketika Lord Minto sebagai Gubernur Jenderal Inggris di India mengadakan kunjungan ke Jawa, di Istana Bogor diselenggarakan resepsi yang dihadiri oleh para pejabat penting Eropa maupun priburni. Pangeran Kusumah Dinata yang ketika itu usianya sudah lanjut, hadir juga dalam resepsi itu. Tetapi berlainan dengan para pejabat pribumi lain yang tampak cerah, memperlihatkan hati riang atas terjaclinya penggantian yang dipertuan, Pangeran Kusumah Dinata kelihatan murung saja. Para bupati yang lain sudah banyak yang mengucapkan janji setia dan pujian kepada yang dipertuan yang baru dan Pangeran Kusumah Dinata sebagai salah seorang bupati yang terkemuka, akhirnya diminta juga berbicara. Menurut pengarang Memed Sastrahadiprawira, inilah yang diucapkan oleh Pangeran Kusumah Dinata pada waktu itu, “Di Sumedang, kalau ada orang hendak meninggal dunia, ia memanggil anak‑anak dan cucu‑cucunya, untuk menceritakan kebaikan nenek‑moyangnya secara turun‑temurun. Begitu juga saya mendengar dari ayah saya almarhum, bahwa sudah lebih dari 200 tahun, nenek‑moyang saya mengabdi kepada orang Belanda dan Kompeni yang sudah berbuat begitu baik hati kepada nenek‑moyang saya. Karena itu saya mengucapkan beribu‑ribu terima kasih atas kebaikan orang Belanda serta berharap, mudah‑mudahan kerajaan Belanda akan terus selamat sejahtera!”

Ucapan itu menimbulkan kecemasan karena setiap orang tahu bahwa pada waktu itu yang menjadi yang dipertuan ialah Inggris yang telah mengalahkan Belanda. Memuji Belanda di depan musuh yang baru saja menaklukkannya niscaya tidaklah bijaksana. Tetapi ternyata ucapan Pangeran Kusumah Dinata itu mendapat pujian dari seorang perwira Inggris yang bernama Gillepsie dan Lord Minto pun menyatakan penghargaan atau keberanian dan kesetiaan Pangeran Kusumah Dinata terhadap Belanda. Dia berjanji akan menyampaikan hal itu kepada pihak Belanda.

Tidaklah adil kalau kita pada masa sekarang menilai ucapan itu dengan kacamata nasionalisme Indonesia. Pada masa itu gagasan tentang nasionalisme Indonesia sendiri belum lahir. Dan Pangeran Kusumah Dinata ialah seorang yang lahir dan dibesarkan dalam alam kolonial, dalam keluar­ga yang menjadi aparat dari mesin kolonial itu sendiri. Ucapan itu harus kita terima sebagai tanda kepatuhan seseorang terhadap apa yang dia­jarkan oleh orang tua leluhurnya, karena yakin bahwa apa yang dia­jarkan oleh orang tua itu betul dan harus dilaksanakan secara jujur, wa­laupun harus mempertaruhkan nyawa sendiri. Dengan demikian maka kita akan melihat suatu kesejajaran antara kesetiaan Pangeran Kusumah Dinata terhadap pemerintah Belanda itu dengan kepatuhan Munding­laya di Kusumah yang berangkat mencari Langlayangan Salaka Domas ke Sajabaning Langit atas perintah ayahanda, Prabu Siliwangi. Seperti juga Mundinglaya, Pangeran Kusumah Dinata tidak meragukan seujung rambut pun kebenaran perintah ayahanda.

Tentu saja kepatuhan itu pun mempunyai syarat. Ketika rasa tang­gung jawabnya sebagai pemimpin, rakyat tergugah dalam peristiwa pem­buatan jalan Anyer‑Banyuwangi di Cadas Pangeran, maka dengan memper­taruhkan kedudukan dan keselamatannya pribadi, dia dengan berani menentang Gubernur Jenderal Daendels yang sudah kesohor galak. Pe­nentangan itu bukanlah tanda dari ketaksetiaan atau ketakpatuhan, me­lainkan karena dia sebagai pejabat merasa bertanggung jawab atas ke­selamatan rakyat yang dipimpinnya.

Pangeran Kusumah Dinata adalah contoh yang hampir sempurna sebagai seorang pejabat pelaksana yang patuh, bertanggung jawab dan ju­jur. Nilai‑nilai ini pula agaknya yang menyebabkan Memed menulis bio­grafinya karena nilai‑nilai itu pulalah yang digambarkannya dalam tokoh Yogaswara dalam roman Mantri Jero yang ditulisnya lebih dahulu.

Keterangan:

Seluruh postingan ini diambil dari buku : Manusia Sunda, Sebuah esai tentang tokoh-tokoh sastra dan sejarah, ‑‑ Cet. 1. ‑‑ Jakarta : Inti Idayu Press, 1984. Oleh Ajip Rosidi, Halaman 108 – 115

18 thoughts on “Manusia Sunda, Pangeran Kornel

  1. Pingback: Pembuatan Jalan

  2. “Hai rakyatku yang kucintai, demikian juga khususnya pemimpin Sumedang Larang dikemudian hari, jangan pernah tidur nyenyak jika rakyat masih melarat, dan jangan merasa lega jika kaum somahan tidak kenyang makan, jauhkanlah sifat hedionisme seperti kelakuan sebagian anggota DPR pada masa pemerintahan siapa itu?”

  3. Sebuah contoh untuk orang Sunda sekarang terutama pejabat. Sedih rasanya melihat kondisi kita sekarang yang terlalu melupakan sejarah dan kebudayaannya sendiri, dan berakhir dengan terlalu ke barat-baratan atau ke arab-araban.

  4. Jangan lupakan khususnya sejarah bangsa kita, sebagai pieunteungeun kita semua

  5. Pingback: Karya Tulis Sejarah _ Sejarah Cadas Pangeran | Furo's Blog

  6. Kisah nyata anu inspiratif pisan euy… Pangeran Kusumadinata jeung Daendels.

    Eta pangeran ngalakukeun tindakan anu ksatria pisan. Kudu jadi teladan arurang sararea bangsa Indonesia, khususna urang Sunda. Eta… karakter ksatria na, mun ceuk barudak ayeunamah “kawanina gede”.

    Abdi mah isin euy kakara terang sajarahna. Kuduna mah ti baheula pisan.

  7. Abdi ge nembe terang upami Pangeran Kornel Teh Pengeran Kusumadinata upami saur pala sepuh abdi mah namina teh Raden Djamu saurnamah pun Bapak teh keturunan ka 7 Rd. Djamu Syofian Kol. Inf.Purn.Wirawan Abri waluhu alam da ayeuna tos pupus,. tapi da aya titinggalan nana nami na upami teu lepat mah ISIM
    Abdi mung hoyong saleresna kumaha silsilah Rd. Djamu (Pangeran Kornel) nu Saleresna dugi ka pun Bapak Rd. Djamu Syofian. hatur nuhun

  8. Sampurasun. di Sumedang, Pangeran Kusumah Dinata (Asep Djamu)/Pangeran kornel lahir pada tahun 1762, dan itu adalah asep pertama yang ada dimuka Bumi ini, Asep yg kedua adalah Asep Ema masih anak dari raja raja sumedang, artinya : Nama asep saat itu adalah sebuah Gelar Kehormatan untuk anak Raja, hingga saat ini belum ada daerah lain yang meiliki sejarah cerita tentang sebuah Nama Asep. terhitung hingga tahun 2014, KPUD sumedang tercatat sebanyak 9.623 orang bernama Asep di atas usia 17, mengenai silsilah keraajaan, silahkan datang ke musium sumedang, disana semua turunan kerajaan ada disana. Di FB ada sejarahwan Muda Sumedang (Asep Sulaeman Fadil) beliau sekurangnya bisa tau sejarah Sumedang.Hanupis..

  9. alhamdulillah tiasa trang saur na buyut abdi masih keturunan pangeran kornel duka generasi seberaha. namina Rd. ahmad ating.

Leave a comment